Benang Kusut Masalah Kewarganegaraan
12 September, 2007 by lisa suroso
Apa yang membuat masalah
kewarganegaraan penduduk keturunan asing di Indonesia demikian rumit?
LIONG Solan duduk terpekur. Di
hadapan wanita 58 tahun itu terserak fotokopi Kartu Keluarga (KK) dan KTP WNI.
“Ini sudah ditarik,” tuturnya. “Katanya tidak sah.” Raut kebingungan tersirat
jelas di wajahnya. Sebagai ibu rumah tangga tanpa mengecap bangku sekolah,
Solan tak paham tentang kewarganegaraan, undang-undang, dan serangkaian
peraturan yang menyertainya. Ia hanya tahu bahwa ia lahir dan menetap di
Indonesia. Ia bingung mengapa sulit dan mahal mengurus dokumen sebagai
WNI.
Siang itu, di rumah berlantai tanah
berukuran 3×5 meter di bilangan Jakarta Pusat, Solan mengisahkan keresahannya.
Terlahir di Jakarta dari ayah seorang warga negara Tiongkok dan ibu “Cina
Benteng”, seumur hidup Solan tak pernah punya KTP WNI. Sebuah fotokopi Kartu
Tanda Penduduk Pemda Chusus Ibukota Jakarta mencantumkan kewarganegaraannya
sebagai “tanpa kewarganegaraan”.
Kartu yang habis masa
berlakunya pada 1971 itu menjadi andalannya untuk semua urusan administrasi.
Akta lahir dan dokumen lain tidak ia miliki. Ketika ayahnya memutuskan pulang
ke Tiongkok sebagai dampak PP No.10/1959, sekeluarga berrencana dibawa serta.
Ibunda Solan, Gouw Em Nio, pun memilih kewarganegaraan Tiongkok. Apa daya,
mereka tak kebagian kapal. Itulah terakhir kalinya Solan melihat sang ayah
yang kapalnya karam dalam pelayaran ke Tiongkok. Kewarganegaraan Gouw Em Nio
dan anak-anaknya pun terkatung-katung karena tidak pernah lagi diurus. “Saya
pernah coba ikut bikin SBKRI tahun 1980 dan 1996, tapi gagal,”
terangnya. “Nggak ada duit-nya.”
Dalam kebingungannya, pada 2003 Solan
mengadu ke Komisi Ombudsman Nasional. Berbekal surat pengantar RT dan KK
Kelurahan Mangga Dua Selatan yang ia miliki setelah menikah dengan suami yang
juga tanpa dokumen kewarganegaraan. Ia mengeluhkan mengapa membuat KTP sulit dan harus membayar mahal. Selang
sebulan, Komisi Ombudsman menindaklanjuti dan menemukan fakta bahwa ia tak
tercatat dalam master data penduduk Kelurahan Mangga Dua Selatan.
Singkat cerita, datanglah oknum
pegawai kelurahan menawarkan memproses KTP berikut KK dengan biaya satu juta
rupiah. Solan menawar dua ratus ribu rupiah, jumlah yang ia sanggupi. Setelah
tawar-menawar alot, akhirnya disepakati harga empat ratus ribu rupiah.Dalam
keluguannya, Solan meminta kwitansi pembayaran yang tentu saja tidak diberi.
Setelah KTP
dan KK-nya selesai pada Januari 2006, Solan mendengar Gubernur Sutiyoso
mengatakan bahwa biaya pembuatan KTP gratis.
Maka Solan pun
menulis surat kepada Sutiyoso, menceritakan bagaimana proses pembuatan KTP dan
KK-nya yang begitu mahal plus mempermasalahkan mengapa ia tidak diberi
kwitansi. Kasus ini akhirnya menjadi masalah besar. Gubernur Sutiyoso mengusut
oknum pegawai kelurahan tersebut. Akhirnya oknum tersebut ditindak. Uang
empat ratus ribu milik Solan dikembalikan. KTP berikut KK Solan ditarik
karena dianggap tidak sah. Solan pun diminta menandatangani surat perjanjian
bahwa ia takkan mempermasalahkan kasus ini lagi.
“Jadi sekarang
saya harus bagaimana?” isaknya. “Mengapa tidak dikatakan saja dari awal kalau
saya tidak bisa mengurus KTP dan KK, beritahu saya bagaimana cara yang benardong...”
…
Kasus Liong Solan adalah salah satu
contoh rumitnya masalah kewarganegaraan di Indonesia. Indradi Kusuma dari
Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) menyatakan masalah ini sudah bercampur
antara ruwetnya sejarah, perilaku diskriminatif, tidak taat pada peraturan, dan
unsur korupsi.
Memahami mengapa masyarakat
keturunan Tionghoa mengalami kerumitan ini, memaksa kita menoleh
kembali ke masa lalu, masa-masa awal kelahiran republik ini.
Saat UU Kewarganegaraan pertama
bernomor No.03/1946 diberlakukan, keturunan asing diberi waktu dua tahun untuk
memilih kewarganegaraannya. Bila menolak kewarganegaraan RI, mereka harus
melapor. Tanpa melapor mereka otomatis menjadi WNI. Dalam istilah hukum, ini
disebut stelsel pasif. Kebijakan ini dipilih karena Indonesia masih menghadapi
ancaman Belanda. Potensi etnis Tionghoa dianggap signifikan dalam melawan
Belanda.
Masalah muncul ketika Belanda
mengintervensi kedaulatan Republik Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar pada
1949. Diputuskan bahwa masalah kewarganegaraan kembali mengacu pada hukum
Belanda Nederlansche Onderdaanschap van niet Nederlanders (Stb.
1910-126) yang membagi penduduk dalam strata Kawula Belanda, Kawula Timur
Asing, dan Kawula Pribumi.
Menurut perjanjian ini, Kawula
Timur Asing harus menentukan kewarganegaraan dengan stelsel pasif. Sementara Kawula
Belanda memilih kewarganegaraan dengan stelsel aktif. Artinya bila ingin
menjadi WNI harus melapor.
Sebenarnya permasalahan
kewarganegaraan lebih beraspek hukum. Berdasarkan Konvensi Den Haag tahun
1930, setiap negara mempunyai independensi untuk menentukan siapa yang menjadi
warga negaranya. Mempertimbangkan kemesraan politik poros
Jakarta-Beijing-Pyongyang saat itu, independensi hukum kewarganegaraan harus
dikalahkan oleh kepentingan politik luar negeri. Ditambah lagi tahun 1950 RI
resmi mengakui Republik Rakyat Tiongkok dengan One China Policy-nya,
termasuk di antaranya mengenai politik kewarganegaraan RRT yang berasas ius
sanguinis, yaitu mengakui semua keturunan warga Tiongkok di belahan dunia
mana pun sebagai warga negara Tiongkok.
Maka pada 1955 Perdana Menteri
merangkap Menteri Luar Negeri Tiongkok, Zhou En Lai dan Menteri Luar Negeri RI
Sunario menyepakati perjanjian dwikewarganegaraan yang disahkan dalam UU
No.02/1958. Perjanjian ini memberikan kesempatan dua tahun pada penduduk
keturunan Tionghoa untuk memilih kewarganegaraannya, yaitu antara 20 Januari
1960 sampai 20 Januari 1962.
Penduduk keturunan Tionghoa pun
terbagi dalam tiga status, yaitu Warga Negara Tiongkok Tunggal, WNI Tunggal,
dan Dwikewarganegaraan. Warga Negara Tiongkok Tunggal adalah mereka yang
menolak kewarganegaraan RI berdasarkan UU No.03/1946. Ada juga etnis Tionghoa
yang otomatis dianggap WNI Tunggal, yaitu yang mengikuti pemilu di tahun 1955,
veteran, mantan Angkatan Perang RI, polisi, pegawai negeri, dan mereka yang
bermatapencaharian sama dengan mayoritas penduduk seperti petani dan nelayan.
Sementara yang tidak masuk dua kelompok itu berstatus Dwikewarganegaraan.
Pemerintah Indonesia kemudian
menerbitkan UU No.62/1958 tentang kewarganegaraan RI dengan sistem stelsel
aktif. Akibat ketidaktahuan tentang stesel aktif, banyak penduduk Tionghoa awam
yang masa bodoh terhadap berbagai dokumen administratif tetap bersikap pasif.
Mereka tidak datang ke pengadilan. Akibatnya mereka gagal mempertahankan status
WNI yang diperoleh dari UU No.03/1946. Dengan sikap pasifnya, mereka juga juga
tidak datang ke Kedutaan Besar RRT. Hal ini membuat mereka tidak memegang
formulir kewarganegaraan Indonesia sekaligus juga tidak memegang paspor RRT.
Jadilah mereka diperlakukan sebagai orang tanpa kewarganegaraan alias stateless.
Mereka yang aktif datang
mencatatkan pernyataan di pengadilan
memperoleh tanda terima, yaitu formulir bernama “Surat Tjatatan Pernjataan
Keterangan Melepaskan Kewarganegaraan Republik Rakjat Tiongkok untuk Tetap
Menjadi Warganegara Republik Indonesia”. Dikenal sebagai Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).
Konsekuensi
diakuinya RRT dengan One China Policy-nya, juga membuat sekelompok
penduduk keturunan Tionghoa yang sebelumnya memilih warga negara Taiwan menjadistateless.
Kondisi bertambah rumit dengan
terbitnya Peraturan Presiden No.10/1959 di sela-sela pelaksanaan perjanjian
dwikewarganegaraan RI-RRT itu. Peraturan tersebut melarang usaha perdagangan
kecil dan eceran asing di luar ibu kota daerah swantantra tingkat I dan II
serta karesidenan serta mewajibkan pengalihan usaha mereka pada WNI pribumi.
Dalam praktiknya, tidak jelas siapa yang dimaksud “asing” ini, sehingga berakibat “pengusiran” dan eksodus besar-besaran WNI Tionghoa. Para
penguasa militer di daerah seenaknya mengusir bukan saja orang Tionghoa asing
tapi juga orang Tionghoa yang berdasarkan UU No.03/1946 telah menjadi Warga
Negara Indonesia. Padahal berdasarkan UU No. 02/1958, sebelum dilaksanakan
perjanjian dwikewarganegaraan, WNI Tionghoa tetap dianggap sebagai WNI.
“Peraturan ini sangat rasialis,”
papar Indradi. “Semua keturunan Tionghoa yang berdagang diusir. Anehnya
keturunan asing lain yang beretnis Arab atau India tidak ikut diusir….”
Ratusan ribu keturunan Tionghoa
berbondong-bondong meninggalkan Indonesia. Indradi melansir jumlah 140.000
orang. Kepada mereka diberikan surat Exit Permit Only (EPO).
40.000 di antaranya diangkut dengan kapal dari RRT, 100.000 lainnya
terkatung-katung di Indonesia. Hidup bersembunyi dan penuh ketakutan. Mereka
kemudian juga tidak melapor ke pengadilan. Demikianlah mereka menjadi stateless.
Sepuluh tahun kemudian perjanjian
dwikewarganegaraan dibatalkan sebagai puncak revolusi September 1965, digantikan
dengan UU No.04/1969, namun tetap tidak ada kejelasan status bagi penduduk stateless.
Charles Coppel mengutip data
Jawatan Imigrasi bahwa pada 1966 terdapat 1.100.000 penduduk Tionghoa berstatus stateless dengan
orientasi politik tidak jelas antara Indonesia, Tiongkok, atau Taiwan. Penduduk stateless itu
kemudian beranak-cucu dan menyisakan masalah sampai sekarang.
Sapi Perah SBKRI
Melihat awal mula munculnya SBKRI,
tidak ada masalah diskriminasi di sana. SBKRI adalah sebuah surat bukti bagi
keturunan asing yang menyatakan diri berkeinginan menjadi WNI.Djasmin, MH,
seorang praktisi hukum, menyatakan bahwa SBKRI menjadi sumber diskriminasi
karena penafsiran bias ketentuan Pasal IV Peraturan Penutup UU No.62/1958.
Dinyatakan bahwa “Barang siapa perlu membuktikan bahwa ia Warga Negara
Republik Indonesia dan tidak mempunyai surat bukti yang menunjukkan bahwa ia
mempunyai atau memperoleh atau turut mempunyai atau turut memperoleh
kewarganegaraan itu, dapat minta kepada Pengadilan Negeri dari tempat
tinggalnya untuk menetapkan apakah ia Warga Negara Republik Indonesia atau
tidak menurut hukum acara perdata biasa.”
Dalam
kenyataannya SBKRI dijadikan syarat mutlak pelbagai urusan administrasi
kependudukan. Padahal untuk memperoleh SBKRI diperlukan waktu lama dan biaya
tidak murah, dalam beberapa kasus bahkan dipersulit dan dijadikan lahan
sumber rejeki aparat yang memanfaatkan ketidaktahuan penduduk.
Pada 1978 terbitlah Peraturan
Menteri Kehakiman No. JB 3/4/12/1978 tentang SBKRI. Dinyatakan mereka yang perlu
membuktikan diri sebagai WNI bisa mengajukan surat permohonan kepada Menteri
Kehakiman. Praktik di lapangan membuktikan bahwa di beberapa daerah Peraturan
Menteri ini masih dijadikan landasan mutlak kepemilikan SBKRI.
Di masa Orde Baru, SBKRI dikukuhkan
lagi dengan Instruksi Presiden RI No.02/1980 dan Keputusan Presiden No.13/1980.
Salah satu pertimbangannya adalah kepastian hukum bagi warga negara keturunan
asing yang belum mempunyai bukti kewarganegaraan. Berangkat dari Inpres
tersebut, SBKRI kembali menjadi keharusan untuk dimiliki etnis Tionghoa dalam
berurusan dengan instansi terkait seperti Departemen Dalam Negeri, khususnya
Catatan Sipil, untuk keperluan kelahiran, perkawinan, dan kematian; Departemen
Pendidikan Nasional, untuk keperluan sekolah; Departemen Kehakiman dan HAM,
khususnya jajaran imigrasi; pengurusan KTP, pengurusan sertifikat tanah di
kantor pertanahan.
Pelbagai peraturan sebetulnya sudah
mencabut SBKRI bagi etnis Tionghoa yang sudah menjadi WNI. Sebut saja
Keppres No. 56/1996 serta Instruksi Mendagri No.25/1996 tentang Juklak Keppres
No.56/1996. Demikian juga Instruksi Presiden No.04/1999 yang pada esensinya
menjelaskan bahwa berbagai kepentingan yang memerlukan bukti kewarganegaraan
cukup menggunakan KTP, Kartu Keluarga, atau Akta Kelahiran. Bahkan keppres
tersebut menyatakan segala peraturan perundang-undangan untuk kepentingan
tertentu yang mempersyaratkan SBKRI tidak berlaku lagi. Dalam praktiknya
peraturan ini tidak berjalan. Bahkan setelah UU No.12/2006 berlaku, masih kita
dengar oknum aparat menuntut SBKRI bagi WNI etnis Tionghoa yang mengurus
berbagai dokumen. Data terakhir terjadi pada Agustus 2007, Kantor Imigrasi
Jambi masih meminta SBKRI sebagai salah satu syarat pembuatan paspor.
…
Molan Tarigan, Atase Imigrasi Konsulat Jendral
RI di Guangzhou, menyatakan bahwa penyelesaian masalah kewarganegaraan
penduduk keturunan asing di Indonesia melibatkan tiga unsur.
Pertama,
struktur sistem hukum, yaitu institusi yang berwenang dalam menentukan status
kewarganegaraan serta yurisdiksi atau wewenangnya. Kedua adalah substansi
hukum, meliputi aturan, norma, produk, dan keputusan hukum. Yang terakhir
adalah budaya hukum yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum,
pemikiran, nilai, kebiasaan, cara berpikir serta bertindak, baik dari aparat
maupun masyarakatnya.
Sebuah kenyataan bahwa di Indonesia ketiga unsur ini masih
berjalan timpang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar